Dia, PAK TERHORMAT
Aku teringat detik detik yang kulihat. Hanya tubuh dan rupanya. Tanpa tahu siapa namanya. Aku selalu melihatnya. Hanya sekilas. Dan itu hanya bila aku ingin pergi menuju suatu urusan. Aku hanya bisa menggambarkan. Tubuh kecil. Berompi seperti pengendara motor mencoba menghalau angin untuk masuk. Bersendal jepit biru yang hampir putus. Bibirnya tak pernah berhenti menekuk. Kibasan tangan tak pernah lelah. Topi butut selalu setia melindungi wajahnya. Dia seolah berkata aku berjasa. Kelancaran. Keteraturan. Ketertiban dan keselarasan. Aku sempat melihat dia tersenyum dengan seseorang. Orang itu menyapanya. Dan dia terlihat senang. Senyumnya merekah. Bahagia. Aku memang penting. Hatinya berkata. Aku tidak tahu apa yang dia cari. Uang ? Aku rasa tidak. Jika memang. Buat apa dia menghabiskan waktu disana. Kenapa tidak pergi saja mengais rezeki. Aku yakin itu bukan karena uang. Tangannya tak mengadah. Hanya tubuhnya tegak sigap. Seperti prajurit menghadap komandan. Sempat aku berpikir. Untuk apa dia melakukan itu. Jika tidak karena uang. Lalu apa?. Aku memang yakin bukan karena uang. Karena dia tidak menuntut. Lalu apa?. Kenapa tidak dirumah saja. Menonton acara musik di tv yang sedang trend. Atau menonton berita. Menambah wawasan akan ketidak siapan mental para calon pemimpin akan kekalahan. Lalu apa?. Kenapa dia lebih memilih di sana?. Menikmati panas matahari yag semakin terik. Apa ini obsesi yang gagal. Karena wajahnya tak muda lagi. Apa dia bingung. Harus apa lagi. Kalau berjasa. Aku tidak yakin. Karena. Jalan itu bukan tempat yang tepat. Itu hanya tikungan. Tanpa pertigaan. Perempatan. Kawasan macet. Dia mengatur. Seolah semua mendengar. Baginya. Kadang. Dia tak takut untuk mencak-mencak. Jika ada yang melanggar. Mereka tidak takut. Tak menggubrisnya. Kami tidak takut, memang kamu siapa?.
Hujan. Bukan penghalang baginya. Tubuhnya terbungkus rapi dengan plastic bekas belanjaan. Bibirnya terus menekuk. Menahan. Menjaga. Agar tetap berbunyi. Meskipun sepi. Dia tetap berdiri. Mengibas. Tersenyum. Meniup. Mengatur. Aku melewatinya. Dengan abangku. Abangku menegur. Dia tersenyum. Ramah. Rompinya tak ganti. Masih sama. Hanya kaos serta celananya beda. Dia menghentakkan kakinya. Berkata. Wooiiiii. Aku tak melihat lagi. Yang aku tahu. Dia memandangi kami. Hingga kejauhan.
Hari ini. Aku melihatnya lagi. Dia masih sama. Riang. Rompi. Menekuk bibir. Mengibas tangannya tanpa lelah. Kali ini. Topi itu tak menutupi wajahnya. Aku melihat jelas. Ketulusan. Dia. Lelaki mungil. Berwajah tua. Aku bisa menebak umurnya. 45. yah ... 45 tahun. Rambutnya sudah memutih. Panjang tak terurus. Kumisnya lebat. Hanya terlihat bibir bawahnya saja. Dia terlihat santai oleh sinar matahari. Dia merelakan. Kulitnya hangus. Keningnya. Penuh dengan butiran keringat. Dia tetap tidak menyeka-nya. Membiarkannya menempel. Tangan kanannya terus mengibas seolah memberi perintah selayak polisi lalu lintas. Tangan kirinya memegang erat plastic. Teh. Dia memegangnya. Teh itu sudah tak berwarna cokelat. Sudah tercampur dengan es. Es yang mencair. Aku bisa merasakan. Es teh itu sudah tak be-rasa. Dan aku masih bisa melihat. Melihat segurat. Segurat keyakinan.
Sorenya. Aku tak mendapati dia disana. Aku merasa ada yang aneh dijalan sana. Tak ada Riang. Rompi. Bibir tertekuk. Tangan terkibas. Hanya jalan mobil motor. Berkendara seperti biasa. Lelaki tua itu tak ada. Aku bertanya. Apa jam tugas sudah berakhir. Kenapa justru disore hari dia tak ada. Sore yang teduh. Tak terbakar matahari. Apa memang itu sudah kontrak. Lalu apa yang dilakukannya sekarang?. Tidur. Makan. Nonton Tv. Ngobrol. Mungkin ada dan tiadanya dia untuk segelintir orang tidak terlalu penting. Bahkan mereka tak pernah memperhatikan keberadaannya sedikitpun. Atau memang dia benar-benar tidak penting?. Dedikasi tanpa Imbalan dia junjung. Obsesi tanpa ketercapaian dia lawan. Meski tanpa “kewibawaan”. Ilmu. Gelar yang tersandang. Dia tetap melaukannya. Dimana orang yang memiliki wibawa. Ilmu. Gelar. Mungkin tidak mau melakukan. Tanpa hadiah. Ada istilah dimasyrakat. Mengatakan. Dia adalah pak ogah. Tapi dia bukan. Dia bukan pak ogah yang menadahkan tangannya. Dia hanya mengibaskan tangannya. Untuk keteraturan. Bukan untuk kepuasan lambung. Dia lebih dari segala pangkat yang ada. Dia memiliki bintang sesungguhnya. Tidak hanya bintang satu dua atau tiga. Tak terhingga. Karena dia… Pak Terhormat.
Sabtu, 05 Juni 2010
Ruang Pertama
salam hangat .
untuk sebuah blog baru saya ingin mencoba untuk sekedar berbasa-basi sebagai perkenalan di Ruang Vicky ini. saya harap ini bukan satu-satunya tulisan yang akan saya posting. semoga berlanjut untuk tulisan-tulisan berikutnya.
buat kalian yang mampir ke blog ini saya ucapkan terimakasih untuk sempat membacanya. kita saling bertukar info pikiran kita. kalau di facebook ada wall-wallan, di twitter ada follow-eollowan dan di blog ini mari kita baca-bacaan.
thank you .
'v'
untuk sebuah blog baru saya ingin mencoba untuk sekedar berbasa-basi sebagai perkenalan di Ruang Vicky ini. saya harap ini bukan satu-satunya tulisan yang akan saya posting. semoga berlanjut untuk tulisan-tulisan berikutnya.
buat kalian yang mampir ke blog ini saya ucapkan terimakasih untuk sempat membacanya. kita saling bertukar info pikiran kita. kalau di facebook ada wall-wallan, di twitter ada follow-eollowan dan di blog ini mari kita baca-bacaan.
thank you .
'v'
Langganan:
Komentar (Atom)
